Apa itu hikmah?

Banyak perkataan mengenai hikmah. Dan hikmah itu tidak sembarangan diberikan kepada manusia.
Allah berfirman tentang besarnya keutamaan hambanya yang diberi hikmah.

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Allah menganugerahkan al-hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”(Al-Baqarah: 269)

Firman Allah,
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ
Allah menganugerahkan al-hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan hikmah ialah pengetahuan mengenai Al-Qur’an, menyangkut nasikh dan mansukh-nya, muhkam dan mutasyabih-nya, muqaddam dan muakhkhar-nya, halal dan haramnya serta perumpamaan-perumpamaannya.

Abul Aliyah mengatakan, yang dimaksud dengan hikmah ialah takut kepada Allah, karena takut kepada Allah merupakan puncak dari hikmah.
Abul Aliyah, menurut salah satu riwayat yang bersumber darinya, mengatakan bahwa hikmah adalah Al-Kitab (Al Qur’an) dan pemahaman mengenainya.
Ibrahim An-Nakha’i mengatakan bahwa hikmah ialah pemahaman. Sedangkan menurut Abu Malik, hikmah adalah sunnah Rasul ﷺ
Malik mengatakan, “Sesungguhnya terdetik di dalam hatiku bahwa hikmah itu adalah pengetahuan mengenai agama Allah dan merupakan perkara yang dimasukkan oleh Allah ke dalam hati manusia sebagai rahmat dan karunia-Nya. Sebagai penjelasannya dapat dikatakan bahwa engkau menjumpai seorang lelaki pandai dalam urusan duniawinya jika ia memperhatikannya, sedangkan engkau jumpai yang lainnya lemah dalam perkara duniawinya, tetapi berpengetahuan dalam masalah agama dan mendalaminya. Allah memberikan yang ini kepada lelaki yang pertama dan memberikan yang itu kepada lelaki yang kedua. Pada garis besarnya hikmah adalah pengetahuan mengenai agama Allah

Firman Allah:
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.

Yakni tiada yang dapat memanfaatkan pelajaran dan peringatan kecuali hanya orang yang mempunyai pemahaman dan akal, dengan melaluinya ia dapat memahami khitab (perintah) Allah.
(Tafsir Ibnu Katsir)

Berkata Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar,
Hikmah ialah kemampuan untuk memahami rahasia syari’at agama. Ada pula yang menafsirkan “pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah” dan ada yang menafsirkan “tepat dalam berkata dan bertindak.” Yang lain berpendapat bahwa hikmah adalah ilmu yang bermanfaat yang membuahkan amal serta mengetahui rahasia-rahasia syari’at.
Karena hal itu dapat membawanya kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, warisan para nabi adalah ilmu, bukan harta atau lainnya. Seorang yang memiliki hikmah dapat menyempurnakan jati dirinya, ia mengetahui yang hak dan mengetahui maksudnya. Dalam bertindak, ia mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Dengan demikian, muncullah sikap tepat baik dalam berbicara maupun dalam bertindak serta dapat memposisikan sesuatu pada tempatnya baik bagi dirinya maupun orang lain. Tanpa yang demikian, seseorang tidak mungkin dapat sempurna.

Syaikh As Sa’diy berkata: “Allah Subhaanahu wa Ta’aala menciptakan hamba-hamba-Nya di atas fitrah beribadah kepada-Nya, mencintai yang baik dan mencari yang hak. Allah mengutus para rasul untuk mengingatkan mereka apa yang sebelumnya terpendam dalam fitrah dan akal mereka serta menerangkan apa saja yang belum mereka ketahui. Ketika itu, manusia terbagi menjadi dua golongan; golongan yang menyambut seruan mereka (para rasul) sehingga mereka ingat terhadap hal yang memberi mereka manfaat, mereka pun mengerjakannya, dan terhadap hal yang memadharatkan mereka, maka mereka tinggalkan. Mereka inilah orang-orang yang memiliki daya pikir dan akal yang sempurna. Sedangkan golongan yang satu lagi tidak menyambut seruan mereka, bahkan mereka lebih memilih perkara rusak yang datang menghampiri fitrah mereka, mereka pun meninggalkan ketaatan kepada Rabbu manusia, oleh karena itu mereka bukanlah orang-orang yang berakal.”
(Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar)

🍃Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*